Translate

Jumat, 16 September 2011

Sejarah Singkat dan Arti Marga (Fam) Orang Minahasa - Bagian I

(dikutip dari http://www.facebook.com/groups/199489383445016/doc/208033385923949/ dengan beberapa penyesuaian)


 SEJARAH SINGKAT MARGA (FAM) ORANG MINAHASA

 
Sosiolog asal Manado, FS Watuseke pernah menulis tentang Fam.

Dalam bahasa Minahasa terutama di dalam bahasa sehari-hari Melayu Manado "nama keluarga" atau "marga" disebut Fam (dalam Bahasa Inggris disebut Family). Kata 'fam' sebenarnya berasal dari Bahasa Belanda 'van' yang kemudian setelah melalui beberapa proses (pelafalan, dsb) disebut sebagai Fam. Di negeri Belanda, Fam mulai digunakan sekitar awal abad ke-19. Waktu itu rakyatnya diwajibkan mempunyai Fam
meskipun sebelumnya sebagian rakyat telah memiliki Fam.

 

Demikian pula di Minahasa kira-kira pada abad 19. Sebelumnya memang ada orang yang memakainya, tetapi belum menyeluruh. Sebagai contoh Bastian Saway, Fam tersebut ada sejak akhir abad ke 17. Pedro Ranty abad 18 dan kemudian awal abad ke-19 terdapat nama Fam seperti Matinus Dotulong (akhir abad 18, Hendrik Dotulong, Frederik Lumingkewas, Abraham Lotulong, dlll).

Pada tahun 1831 dua orang penginjil Protestan JF Riedel dan JF Schwarz tiba di Minahasa tepatnya di Langowan. Mereka mengabarkan Injil sekaligus membaptis anggota baru yang masuk Kristen. Pada waktu itu setiap orang yang dibaptis mendapat sebuah nama Alkitab atau nama Eropa, (seperti Daniel, Jan, Piet, Frans dan lainnya) serta diberi sebuah nama Fam.

Biasanya nama Fam diambil dari nama ayah (nama satu-satunya yang dipakai) yang didahului dengan nama baptis. Selain nama ayah, nama tersebut juga bisa diambil dari nama nenek pria. Biasanya nama ayah atau nenek pria itu adalah nama asli Minahasa, seperti Watuseke, Sarapung, Korengkeng, Turang, Sondakh dan lainnya. Nama baptis
yang diambil dari nama-nama di Alkitab atau dari negeri Eropa barat terutama dari Belanda tersebut kemudian dijadikan nama panggilan sehari-hari. Sejak saat itu, nama orang Minahasa atau Fam mengikuti garis keturunan orangtua laki-laki (patrilineal), sedangkan nama wanita tidak diturunkan sehingga dilupakan oleh sebagian orang.

Dengan hanya mengenal nama panggilan satu-satunya, tentu akan terjadi kebingungan jika nama itu dipakai beberapa orang. Maka
diberikanlah nama pengenal lain mengikuti nama-nama panggilan tersebut. Nama pengenal tersebut itu dibedakan dengan melihat adanya sikap, cacat, atau suatu tanda khusus pada orang yang kita maksud. Seperti Wanta Kento jika ia pincang (kento=pincang), Wilem Todeo Kokong (Wilem berkepala lonjong), Min Pirop (Min bermata buta) dan lainnya.

Ada juga nama-nama yang menyatakan sifat dari orang yang dimaksud, seperti Mamuaya (dari kata 'wuaya' atau berani)
yang artinya ia seorang pemberani, Mama'it atau Ma'it yang artinya orang yang selalu memasak agak kebanyakan garam, Oki' (=kecil) yang artinya orang yang selalu mengecilkan sesuatu, dan sebagainya.

Masih banyak nama-nama yang mengikuti sifat, kepribadian, tempat tinggal, pekerjaan, perjuangan dan lainnya. Sebagai contoh, karena pekerjaannya selalu menebang pohon, disebut Pele. Sesuai tempat tinggal, di mana daerahnya selalu terjadi kebakaran karena adanya kilat dipanggil Pongilatan. Kalau dia tinggal pada suatu bukit atau gunung ia disebut Wuntu. Kalau dia mau naik bukit atau gunung disebut Mawuntu. Suatu tempat yang bersifat serong atau miring dikatakan Kawilaran. Kalau menerka disebut Tumeleap. Tempat di mana sering dicungkil tanahnya dengan sebuah tongkat disebut Tu'ila dan pemiliknya dinamai demikian.
Sedangkan orang yang pekerjaannya memotong dengan sebuah parang disebut Sumanti (di dalam bahasa Tombulu kata ini mengandung arti lain, yaitu batu pujaan. Dalam bahasa Tondano disebut Panimbe. Ranting-ranting kering yang disebut Rankang dipergunakan untuk merintangi/memotong tempat jalan). Kesemuanya ini pada akhirnya dipergunakan oleh orang Minahasa walaupun dia berada di luar daerah. 

Boeng Dotulong pernah menulis sebuah catatan serupa. Berikut catatan Boeng Dotulong:

Pemberian fam atau nama keluarga dimulai 4 Oktober 1864 melalui keputusan dari pemerintah Belanda yang termuat dalam lembaran pemerintah (staatsblad no. 142) di mana tercantum akan keharusan mendaftarkan nama pada kantor catatan sipil (BS). Dengan berlakunya peraturan ini maka seringkali terjadi nama yang sebelumnya telah dimiliki seseorang ditambahi nama ayah dan/ atau opa sehingga muncul beberapa nama. Nama terakhir dijadikan sebagai nama keluarga. Ini terjadi karena hendak membedakan nama-nama yang sama yang sudah ada sebelum peraturan ini berlaku. Akibatnya terjadi nama yang sebelumnya merupakan nama panggilan menjadi fam. Hal ini membuat kakak beradik menjadi memiliki dua fam yang berbeda. Contoh: Erungan/Gerungan dan adiknya Awilarang/Kawilarang menjadi dua keluarga yang berbeda. Demikian juga yang terjadi dengan Walewangko dan adiknya Palar (Kepala Walak Sonder Tua). Belum lagi terjadi salah penulisan, misalnya : Ratumbuijasang, Ratumbuysang kemudian ada Ratumbuisang dan masih banyak yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar